Sebuah Kardus Mie Instan
Sebuah Kardus Mie Instan
Selepas terminal pakupatan serang, bis
jurusan merak- bandung meneruskan perja-lanan menuju terminal
leuwipanjangsebagai tujuan terakhir. Bis yang ditumpangi lelaki itu nyaris
kosong karena banyak penumpang yang turun di Serang. Lelaki itu menguap,
kembali melihat ke tempat barang di atas kepalanya. Kardus bekas kemasan mi
instan yang diikat tali plastik tidak rapi itu masih di sana. Ibu paru baya
yang duduk di dekatnya tadi telah turun dari terminal pakupatan dan menolak
ketika diingatkan lelaki itu supaya jangan lupa barangnya."Tidak.Itu bukan
barang saya," jawabnya.
Lelaki itu cepat menduga bahwa ini sebuah keteledoran atau
kesengajaan.Boleh jadi sebuah bom.Mungkin saja ada kelompok yang tidak puas
dengan pelaksanaan pemilu atau teroris mancanegara ingin menghancurkan
Indonesia pelan-pelan, batin lelaki itu.Ia mulai cemas. Tapi ia memberanikan
diri juga untuk menurunkannya dan meletakkan hati-hati di dekat tas jinjingnya
sambil mengamati kardus yang tidak diikat dengan rapi itu. Ada celah yang
terbuka, terlihat gumpalan plastik transparan sebagai pembungkus barang yang
ada di dalam.
Lelaki itu mencoba memasukkan tangannya hati-hati melalui
celah yang terbuka. Di kepalanya terbayang bahwa ia akan menyentuh kabel-kabel
dan detonator. Tetapi, ternyata tidak.Melainkan susunan kertas yang disusun
rapi. Dengan antusias, ternyata susunan uang kertas pecahan lima puluh ribuan.
"Ini pasti palsu," lelaki itu membatin. Tiba-tiba ia berkeringat,
berimajinasi macam-macam. "Jangan-jangan ini termasuk money
politics suatu partai," pikirnya lagi.Ia dikagetkan oleh
kedatangan kuli-kuli berseragam oranye yang menyerbu bis yang nyaris kosong itu
ketika sedang melambat hendak berhenti mencari penumpang.
"Boleh saya bantu, Pak?"
Lelaki itu menggeleng.Ia merapikan ikatan tali-tali plastik
itu kembali dan bersiap turun di stasiun Gambir dengan badan penuh keringat
beserta debaran jantungnya yang mengguruh.
Lelaki paru baya itu selamat sampai
tujuan melintasi macet Bandung selama lebih kurang satu jam di dalam bus yang
padat menjelang magrib bersama gerimis musim penghujan. Di kamar kosnya yang
sempit penuh buku, ia pastikan isi kardus itu bukan bom dan uang palsu. Tapi
tumpukan uang yang masih diikat rapi kertas pembalut bertanda Bank Indonesia
itu tampak asli dan utuh dalam ikatan sepuluh jutaan. Luar kepala, lelaki itu
menghitung dua ratus juta rupiah uang dalam pecahan lima puluh ribuan. Lalu ia
mendorong kardus itu ke bawah kolong tempat tidur bersentuhan kardus-kardus
lain yang sekarang seperti tidak berharga sama sekali. Sementara, hujan bulan
Maret belum hendak berhenti membasuh Kota Jakarta yang penuh debu.
Sebelum sempat tertidur, lelaki itu kadang-kadang
membenarkan tindakannya tadi sore di kereta Parahyangan, memutuskan untuk
membawa kardus berisi uang kertas itu. Kadang-kadang ia menyalahkan dirinya dan
merasa telah dengan sengaja mengambil risiko yang mungkin berakibat fatal pada
dirinya, kadang-kadang merasa berdosa besar.
"Tidak, ini tidak keliru.Saya adalah alamat yang tepat
karena pertolongan tangan Tuhan," pikirnya.Sampai akhirnya lelaki itu
memutuskan untuk sembahyang malam.Minta petunjuk dan perlindungan Tuhan.Semua
daftar kesulitan hidup yang dialaminya selama ini, dibeberkannya kepada Tuhan
tanpa ada yang tertinggal.Seolah-olah selama ini Tuhan telah melupakannya. Tapi
malu-malu ia katakan kepada Tuhan bahwa ia telah menjual mobil bututnya untuk
membantu kehidupan keluarganya, seorang istri dan tiga orang anak yang sedang
butuh biaya tinggi untuk pendidikan.
Malam itu, ia berencana akan mencoba menguji menggunakan
uang kardus itu esok pagi. Mula-mula, ia berniat ke warung dekat rumah kos
membeli sabun, rokok, mi instan, biskuit, kopi, gula, dan tissu. Lalu,
berangkat lebih awal mengajar naik taksi agar dapat menikmati angkutan nyaman
tanpa berdesakan. Sehabis mengajar, berencana menggunakan uang lima puluhan itu
untuk membeli kaus kaki, ikat pinggang, celana dalam dan singlet di kaki lima
yang biasanya digelar di halte pinggir jalan. Jelas lelaki itu tidak berani
membelanjakannya di supermarket atau mal yang biasanya tiap kasir memiliki
mesin penguji uang palsu.Apalagi berniat menyimpannya di bank.
Pagi itu ia
terbangun oleh ketukan halus di pintu kamarnya. Ibu kos yang janda itu
memanggil-manggil namanya dengan genit. Biasa, membagikan jatah termos berisi
air panas tiap kamar. Laki-laki itu menduga bahwa dua kamar lainnya pasti
sedang kosong.Biasanya, kalau semua penghuni sedang "indoor", termos
air panas pagi hari cukup diletakkan saja di atas meja makan.Ia tahu persis,
kalau nada suara ibu kos itu mulai bergenit-genit, pasti dalam keadaan aman.
Artinya, seperti beberapa kali dialaminya, ketika ia membuka pintu, tangan
lembut ibu kos yang memegang tangkai termos air panas itu sekalian ditariknya
ke dalam kamar. Ibu kos hanya pura-pura saja menolak yang kemudian merintih,
"Ah, si Akang genit ah."
"Yang lain
pada ke mana?" tanya lelaki itu meyakinkan dirinya.
"Pada
pulang.Pergi setor," sambil tertawa cekikan.
Padahal, kalau
penghuni tiga kamar belakang itu lengkap, hal itu tidak akan terjadi. Dan,
lelaki itu memaksa ibu kos menyedukan kopi untuknya sebelum meninggalkan kamar.
Seperti biasa, ia menurut, bahkan seperti hendak memuntahkan kerinduannya
kepada si Akang. Janda beranak dua yang kedua anaknya sedang sekolah di SMP dan
SMA itu sudah lama ditinggal suaminya yang pelaut.Konon itu cerita dia, ketika
pertama kali janda itu melayani lelaki itu.
Aroma kopi dan
aroma perempuan di pagi itu adalah dua hal yang saling tumpang tindih menggoda
lelaki itu.Antara rasa beruntung dan rasa cemas yang dideritanya semalaman,
ditumpahkannya semua dengan kapasitas penuh. Langit Jakarta tetap saja mendung,
seperti hendak bersiap dengan tenaganya yang besar untuk membasuh kepengapan
selama bertahun-tahun membebani kota ini. Dari balik tirai jendela kamar yang
terletak di lantai dua itu, genteng rumah tetangga kelihatan basah. Seekor
kucing melintas cepat dan menghilang di balik got genteng rumah sebelahnya
lagi.
Ibu kos
cepat-cepat membenahi pakaiannya ketika bunyi bel yang dipencet pembantu cuci
dan masak yang datang kehujanan. Ia cepat-cepat turun. Lelaki itu pun bersiap
hendak mandi sambil bersiul-siul menirukan irama sebuah lagu dangdut.Siulan itu
pun berganti dengan suaranya ketika bertimba-timba air menyirami tubuhnya.Ia
baru berhenti bersenandung ketika selesai berpakaian dan bersisir di depan
cermin.
Lelaki itu
terbangun ketika suara gaduh langkah-langkah orang menaiki tangga kayu di depan
kamarnya. Udara dingin yang datang dari tempias hujan dan angin mengguyur
Jakarta.Ia terlonjak dan melihat jam weker di meja. Pukul tujuh lewat. Suara
gaduh itu membuatnya keluar kamar dan langsung berhadapan dengan ibu kos yang
dibantu oleh pembantu mengangkat barang-barang yang mungkin dapat diselamatkan
dari serbuan banjir.
"Pak,
tolong Pak. Banjir," ujar ibu kos terengah-engah.
Lelaki itu
cepat masuk kamar, memeriksa kembali kardus yang ditaruhnya di bawah tempat
tidur sore kemarin, sekadar meyakinkan dirinya bahwa kardus itu tidak basah.
Kardus mi instan itu masih di sana. Ia menariknya ke luar dan merogoh isinya.
Hanya plastik-plastik bekas pembungkus alat-alat komputer yang beberapa hari
lewat dibelinya di Manggadua.Tak lebih dari itu. Ia sangat kecewa.
Khayalan dikosan
jln. Veteran no 168 nagri kaler purwakarta
Komentar
Posting Komentar