tafsir bilmatsur
BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tafsir
bil-ma’tsur ialah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih
menurut urutan yang telah disebutkan di muka dalam syarat-syarat mufasir. Yaitu
menafsirkan Qur’an dengan Qur’an, dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan
kitabullah, dengan perkataan sahabat karena merekalah yang paling mengetahui
kitabullah, atau dengan apa yang dikatakan tokoh-tokoh besar tabi’in karena
pada umumnya mereka menerimanya dari sahabat.
Mufasir
yang menempuh cara seperti ini hendaknya menelusuri lebih dahulu asar-asar yang
ada mengenai makna ayat kemudian asar tersebut di kemukakan sebagai tafsir ayat
bersangkutan. Dalam hal ini ia tidak boleh melakukan ijtihad untuk menjelaskan
sesuatu makna tanpa ada dasar, juga hendaknya ia meninggalkan hal-hal yang tidak
berguna atau bermanfaat untuk di ketahui selama tidak ada riwayat sahih
mengenainya.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1
Pengertian Tafsir bil ma’tsur
Sebagaimana di jelaskan
Al-Farmawi, tafsir bi al-ma’tsur (di sebut pula bi ar-riwayah dan an-naql)
adalah penafsiran al-Qur’an yang mendasarkan pada penjelasan al-Qu’an sendiri,
penjelasan nabi, penjelasan sahabat melalui ijtihadnya, dan pendapat (aqwal)
tabi’in. ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi al-ma’tsur :
1.
Al-Qur’an yang
di pandang sebagai penafsir terbaik terhadap al-Qur’an sendiri. Umpamanya,
penafsiran kata muttaqin pada surat
Al-imran (3) ayat 133, adalah dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya,
yang menjelaskan bahwa yang di maksud adalah orang-orang yang menafkahkan
hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan seterusnya.
2.
Otoritas hadits
nabi yang memang berfungsi, di antaranya sebagai penjelas (mubayyin) Al-Qur’an. Umpamanya, penafsiran nabi terhadap kata azh-zhulm pada surat al-an’am (6) dengan pengertian
syirik; dan pengertian ungkapan al-quwwah
dengan ar-ramy (panah) pada firman
allah yang artinya “ Dan siapkanlah untuk
menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari
kuda-kuda “ (Q.S Al-Anfal (8) : 60)
3.
Otoritas
penjelasan sahabat yang di pandang sebagai orang yang banyak mengetahui
al-Qur’an. Umpamanya , penafsiran ibnu Abbas (w. 68/687) terhadap kandungan
surat An-Nashr (110) dengan kedekatan
waktu kewafatan nabi.
4.
Otoritas
penjelasan tabi’in yang di anggap sebagai orang yang bertemu langsung dengan
sahabat. Umpamanya, penafsiran tabi’in terhadap surat Ash-Shaffat (37) ayat 65 dengan syair
imr al-Qays.
Tidak di peroleh alasan
yang memadai mengenai penafsiran tabi’in yang di jadikan sebagai salah satu
sumber tafsir bil-ma’tsur. Padahal dalam penafsiran al-Qur’an, mereka tidak
hanya mendasarkan kepada riwayat yang diterimanya dari sahabat, tetapi
terkadang memasukan ide-idenya. Dengan kata lain, terkadang mereka pun
melakukan ijtihad dan memberi interprestasi terhadap al-Qur’an. Di samping itu
mereka berbeda dengan sahabat, mereka tidak mendengar langsung dari nabi dan
tidak menyaksikan langsung situasi dan kondisi ketika al-Qur’an turun. Oleh
sebab itu, otoritas mereka sebagai sumber penafsiran al-Qur’an bil-ma’tsur
masih di perdebatkan para ulama. Di antara ulama yang menolak adalah Ibnu
Syaibah dan Ibnu Aqil. Berkenaan dengan otoritas mereka, Abu Hanifah berujar “
Apa yang datang dari Rasulullah harus di terima; apa yang datang dari tabi’in
(kita perlu menyikapinya), mereka adalah laki-laki dan kami laki-laki”. Namun
mayoritas seperti Ad-Dahlak bin Al-Muzahim, Abu Al-Aliyyah Ar-Rayyah, Hasan
Absri dan ikrimah menerima otoritas mereka karena umumnya mereka mendengar
langsung dari sahabat.
Bila Ibnu Aqil dan
Syaibah mempersoalkan otoritas tabi’in, Quraisy Shihab mencoba lebih dalam lagi
mempersoalkan otoritas nabi dan sahabat. Menurutnya, penafsiran nabi dan
sahabat dapat di bagi ke dalam dua kategori:
1.
La
maja li al-aql fihi (masalah
yang di ungkapkan bukan dalam wilayah nalar) seperti masalah metafisika dan
perincian ibadah.
2.
Fi
majal al-aql ( dalam wilayah nalar) seperti masalah
kemasyarakatan.
Yang pertama,
apabila nilai riwayatnya shahih, di terima sebagaimana apa adanya tanpa ada
pengembangan karena sifatnya di luar jangkauan akal. Adapun yang kedua, walaupun harus di akui bahwa
penafsiran nabi pasti benar, penafsiran itu harus di dudukkan pada proporsinya
yang tepat. Apalagi jika dikaitkan dengan multifungsional nabi.
Adapun pendapat sahabat, apabila
permasalahan yang di ungkapkan itu fi
majal al-aql, pendapat tersebut fi
hukm al-marfu dan diterima apa adanya. Bila tidak demikian, ia hanya di
pertimbangkan dan dipilih mana yang sesuai dan mana yang tidak sesuai.
Bertolak dari pendapat shihab di atas,
jelaslah bahwa tidak merupakan suatu keharusan untuk menerima produk penafsiran
bil-ma’tsur bila persoalannya menyangkut fi
majal al-aql meskipun penafsiran itu berasal dari nabi.
2.2 Periodisasi tafsir bil-ma’tsur
Periode
pertama, yaitu masa nabi, sahabat dan perrmulaan masa tabi’in
ketika tafsir belum di tulis. Pada periode ini, periwayatan tafsir secara umum
dilakukan dengan lisan (musyafahah).
Periode
kedua, dimulai dengan mengodifikasikan hadits secara resmi
pada masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz (95-101). Tafsir bil-ma’tsur ketika
itu di tulis bergabung dengan penulisan hadits dan dihimpun dalam salah satu
bab hadits.
Periode
ketiga, dimulai dengan penyusunan kitab tafsir bi al-matsur yang berdiri sendiri.
2.3 Kitab yang
menempuh corak tafsir bil-ma’tsur adalah:
a.
Jami
al bayan fi tafsir al-Qur’an karya Ibn Jaris
Ath-Thabari
b.
Anwar
At-Tanzil karya Al-Baidhawi
c.
Ad-Durr
Al-Mantsur fi At-Tafsir bi al-ma’tsur karya Jalal Ad-Din
As-Suyuthi
d.
Tanwir
Al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas karya Fairud Zabadi
e.
Tafsir
Al-Qur’an Al-Azhim karya Ibnu Katsir
2.4 Silang pendapat
sekitar tafsir bil-ma’tsur
Tafsir bil-ma’tsur
berkisar pada riwayat-riwayat yang di nukil dari pendahulu umat ini. Perbedaan
pendapat di antara mereka sedikit sekali jumlahnya dibanding dengan yang terjadi
di antara generasi sesudahnya. Itupun sebagian besar perbedaan tersebut hanya
terletak pada aspek redaksional sedang maknanya tetap sama, atau hanya berupa
penafsiran kata-kata umum dengan salah satu makna yang dicakupnya sebagai
contoh. Berkata Ibn Taimiyah:
Perbedaan pendapat
dalam tafsir dikalangan salaf sedikit sekali jumlahnya. Dan pada umumnya
perbedaan itu hanya berkonotasi variatif, bukan kontradiktif. Perbedaan
tersebut dapat diklasifikasikan menjadi dua macam:
Pertama,
seorang mufassir di antara mereka mengungkapkan maksud sebuah kata dengan
redaksi yang berbeda dengan redaksi mufassir lain dan masing- masing itu
menunjuk makna yang berbeda pula tetapi maksud semuanya adalah sama. Misalnya
penafsiran kata as-sirat al-mustaqim.
Sebagian menafsirkan dengan “Qur’an” maksudnya mengikuti Qur’an, sedang yang
lain dengan “islam”. Kedua tafsiran ini sama, sebab islam ialah mengikuti
Qur’an. Hanya saja masing-masing penafsiran itu menggunakan sifat yang tidak di
gunakan oleh yang lain.
Kedua,
masing-masing
mufassir menafsirkan kata-kata yang bersifat umum dengan menyebutkan sebagian
makna dari sekian banyak macamnya sebagai contoh dan untuk mengingatkan
pendengar bahwa kata tersebut mengandung bermacam-macam makna. Misalnya penafsiran
tentang firman Allah :
“kemudian
kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara
hamba-hamba kami. Namun di antara mereka ada yang berbuat aniaya (dzalim)
terhadap diri sendiri, ada pula yang
bersikap moderat (muqtasid) dan ada
pula yang terdepan (sabiq) dalam
berbuat kebajikan “ (Q.S Fatir :32 ). Dikatakan “sabiq” ialah orang yang
menunaikan shalat di awal waktu, “muqtasid” ialah yang melakukan shalat di
tengah waktu, sedang “dzalim” adalah orang yang mengakhirkan shalat asar sampai
saat langit berwarna kekuning-kuningan. Mufassir lain mengatakan “sabiq” adalah
orang yang berbuat baik dengan bersedekah di samping zakat, “muqtasid” adalah
orang yang hanya menunaikan zakat wajib saja, dan “dzalim” adalah orang yang
enggan membayar zakat.
Perbedaan pendapat
terkadang di sebabkan sebuah lafaz mengandung dua makna, seperti lafaz ‘as’as
mempunyai arti datangnya waktu malam dan kepergiannya. Atau karena beberapa
lafaz yang di pakai mengungkapkan makna-makna saling berdekatan. Misalnya kata tubsal, sebagian menafsirkannya dengan tuhbas ( di tahan ) dan sebagian yang
lain dengan turhan ( di gadaikan, di
jadikan jaminan ). Masing-masing penafsiran ini berdekatan satu dengan yang
lainnya.
2.5
keistimewaan-keistimewaan tafsir bil-ma’tsur menurut Quraisy Shihab
a. menekankan pentingnya bahasa dalam
memahami Al-Qur’an
b. memaparkan ketelitian redaksi ayat
ketika menyampaikan pesan-pesannya;
c. mengikat mufassir dalam bingkai
ayat-ayat sehingga membatasinya agar tidak terjerumus ke dalam subjektivitas
yang berlebihan.
2.6
Kelemahan-kelemahan tafsir bil-ma’tsur menurut Adz Dzahabi
a. Terjadi
pemalsuan (wadh’) dalam tafsir. Di catat oleh Adz-Dzahabi bahwa pemalsuan
itu terjadi pada tahun-tahun ketika terjadi peperangan di kalangan umat islam
yang menimbulkan berbagai aliran, seperti syiah,
khawarij, dan murji’ah. Di antara
sebab pemalsuan itu, menurutnya, adalah fanatisme madzhab, politik dan
usaha-usaha umat islam. Termasuk pemalsuan tafsir yang di katakana oleh
Adz-Dzahabi dengan kegiatan penfsiran di kalangan penganut aliran-aliran
teologi (mungkin maksudnya non-ahlussunnah waljama’ah) tidak selamanya
tepat. Penulis melihatnya sebagai perbedaan perspektif dalam penfsiran
Al-Qur’an, atau suatu hal yang tidak selamanya negatif bahkan tidak dapat di
hindari. Bila kemunculan aliran itu harus tetap di kaitkan dengan kelemahan
tafsir bil-ma’tsur maka kelemahan itu berupa di jadikannya ayat-ayat Al-Qur’an
sebagai legitimasi ajaran aliran itu.
b. masuknya
unsur israiliyyat yang di definisikan sebagi unsur-unsur Yahudi dan Nasrani ke
dalam penafsiran Al-Qur’an. Persoalan israiliyyat sebenarnya sudah muncul
sejak zaman nabi. Hal itu berdasakan hadits nabi yang diriwayatkan Ahmad bin
Hanbal tentang dialog Umar bin Khattab dan nabi mengenai tulisan yang berasal
dari Ahli kitab, dan hadits Al-
Bukhari yang berisi seruan nabi untuk tidak membenarkan dan tidak pula
mendustakan berita yang datng dari Ahli
kitab. Kedua hadits itu mengindikasikan bahwa pada masa nabi ada sebagian
sahabat yang menerima riwayat israiliyyat. Namun, pada masa itu, israiliyyat
belum menjadi persoalan yang parah, mengingat yang di lakukan para sahabat
masih berada dalam batas-batas kewajaran. Israiliyyat menjadi persoalan serius
ketika berada pada masa tabi’in. pada masa itu, israiliyyat tidak saja telah
membaurkan antara shahih dan bathil, tetapi juga banyak yang dapat merusak
akidah umat. Dalam sejarah, israiliyyat semacam itu masuk dan tersebar melalui
tafsir bil-ma’tsur.
c. penghilangan
sanad. Eksistensi sanad yang terjadi menjadi salah satu kualifikasi
keakuratan sebuah riwayat, ternyata di temukan pada sebagian tafsir
bil-ma’tsur. Akibatnya penilaian terhadap riwayat itu sulit di lakukan sehingga
sulit pula untuk membedakan mana yang shahih dan mana yang tidak. Tafsir muqatil bin sulaiman barangkali
cukup representatif bagi contoh kitab yang di sertai sanad.
d. terjerumusnya sang mufassir ke dalam
uraian kebahasaan dan kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok
A-Qur’an menjadi kabur.
e. seringkali konteks turunnya ayat (asbab an-nuzul) atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat yang di
fahami dari uraian (nasikh mansukh ),
hampir dapat di katakan, terabaikan sama sekali sehingga ayat-ayat tersebut
bagaikan turun di tengah-tengah masyarakat yang hampa budaya.
Dengan mempertimbangkan
keistimewaan dan kelemahan dalam tafsir bil-ma’tsur, dapatlah dikatakan bahwa
corak itu dapat di pandang lebih baik dari pada corak lainnya jika
kelemahan-kelemahannya dapat di hindari. Memang sulit menyebutkan kitab-kitab
tafsir bil-ma’tsur yang terhindar dari kelemahan-kelemahan itu. Tafsir Ath
Thabari yang di pandang para ulama sebagai tafsir terbaik pun ternyata
mengandung beberapa kelemahan, di antaranya adalah penyebutan riwayat
israiliyyat yang tidak di sertai dengan komentar-komentar yang memadai.
Harus di catat pula bahwa
adanya berbagai keistimewaan yang di miliki tafsir bil-ma’tsur bukan berarti
corak tafsir itu merupakan alternatif, terbaik untuk situasi kekinian. Untuk
beberapa periode pasca nabi, barang kali corak itu memang merupakan
satu-satunya alternatif mengingat antar generasi mereka dengan sahabat dan
tabi’in cukup dekat dan laju perubahan sosial perkembangan ilmu pun belum
sepesat masa kini. Di samping itu, juga sebagai penghormat kepada sahabat dan
kedudukan mereka sebagai murid-murid dan orang-orang yang berjasa.
Oleh
karena itu, bila hendak menggunakan corak tafsir bil-ma’tsur di butuhkan
pengembangan di sampning seleksi yang cukup ketat. Pengembangan yang di maksud
tidak hanya sekedar menyerap apa adanya produk penafsiran bil-ma’tsur karya
klasik, tetapi yang lebih penting lagi adalah menyeleksinya mana yang dapat
menyelesaikan persoalan masa kini dan mana yang tidak. Perbedaan sosio-kultural
yang di hadapi para mufassir sekarang tentu saja menjadikan sebagian hasil
penafsiran klasik tidak berhasil menjawab persoalan-persoalan kekinian. Ini bertolak
dari asumsi bahwa penafsiran al-Qur’an pada dasarnya adalah usaha mufassir pada
sekat tertentu untuk menjawab persoalan-persoalan yang di hadapinya. Dengan
demikian, tafsir seharusnya bersifat dinamis seiring dengan dinamika
perkembangan sosio-kultural masyarakat.
Agenda
lain yang perlu diperhatikan dengan baik berkenan dengan perkembangan tafsir bil-ma’tsur
pada situasi kekinian adalah pemberian porsi yang memadai bagi penggunaan
takwil, suatu perangkat penafsiran Al-Qur’an yang dapat membongkar esensi
Al-Qur’an yang universal. Tentu saja tafsir bil-ma’tsur pun pada saatnya
mengadopsi disiplin-disiplin keilmuan modern yang berkembang pada saat sekarang
sehingga jika hasil penafsiran dapat diharapkan memecahkan persoalan-persoalan
yang dihadapi umat islam sekarang.
2.7
Status tafsir bil-ma’tsur
Tafsir
bil-ma’tsur adalah tafsir yang harus diikuti dan di pedomani karena ia adalah
jalan pengetahuan yang benar dan merupakan jalan paling aman untuk menjaga diri
dari ketergelinciran dan kesesatan dalam memahami kitabullah. Diriwayatkan dari
Ibn Abbas, ia berkata: “tafsir itu ada empat macam; tafsir yang dapat diketahui
oleh orang Arab melalui bahasa mereka, tafsir yang harus diketahui oleh setiap
orang, tafsir yang hanya bisa di ketahui para ulama, dan tafsir sama sekali
tidak mungkin di ketahui oleh siapapun selain Allah”.
Pertama
adalah tafsir yang merujuk kepada tutur kata mereka melalui penjelasan bahasa.
Macam kedua ialah tafsir mengenai ayat yang maknanya mudah dimengerti, yaitu
penafsiran nas-nas yang mengandung hukum-hukum
syariat dan dalil-dalil tauhid secara tegas. Misalnya, setiap orang
pasti mengetahui makna tauhid dari ayat: maka
ketahuilah, sesungguhnya tiada tuhan selain Allah ( al-qital:19), sekalipun
ia tidak tahu bahwa kalimat ini di kemukakan dengan pola “nafy” dan “istisna”
yang menunjukkan arti hasr (pembatasan,
penghanyaan).
Macam
ketiga ialah tafsir yang merujuk kepada ijtihad yang di dasarkan paa
bukti-bukti dan dalil-dalil, tidak hanya pada ra’y semata, seperti penjelasan
ayat atau kata yang mujmal, pengkhususan ayat-ayat yang umum, dan sebagainya.
Sedang macam keempat ialah tafsir yang berkisar pada hal-hal gaib, seperti
kapan terjadinya kiamat dan hakikat roh.
BAB
III
PENUTUP
Kesimpulan
Tafsir
bil-ma’tsur adalah tafsir yang berdasarkan pada kutipan-kutipan yang shahih
menurut urutan yang telah disebutkan di muka dalam syarat-syarat mufasir. Yaitu
menafsirkan Qur’an dengan Qur’an, menafsirkan Qur’an dengan hadits, menafsirkan
Qur’an dengan sahabat, menafsirkan Qur’an dengan tabi’in.
Saran
Setelah
selesai makalah ini kami buat, kami mohon kepada para pembaca untuk dapat
memberikan kritik dan sarannya terhadap makalah ini, mudah-mudahan kritik dan
saran anda akan kami jadikan pelajaran terhadap karya ilmiah kami selanjutnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Khalil al-Qattan, manna’ . 2003 .studi ilmu-ilmu Qur’an . PT. Pustaka
Litera AntarNusa : Jakarta
Komentar
Posting Komentar